Wudhu atau Tayammum di Pesawat

Di luar kajian fiqih yang langsung dengan ritual ibadah haji, ada beberapa permasalahan yang secara tidak langsung masih terkait dengan ibadah haji.

Pada bagian ini, kita akan membahas beberapa hal tersebut, seperti masalah bertayammum di pesawat dan teknis menjalankan shalat fardhu yang lima waktu. Juga tentang jamaah haji/Umroh dipungut uang dengan alasan wajib berzakat.

A. Bersuci Dari Hadats

Selama penerbangan dari tanah air ke tanah suci, nyaris hampir mustahil jama’ah haji melewatinya tanpa melewati waktu-waktu shalat. Maka mau tidak mau, jama’ah terpaksa harus melakukan shalat di atas pesawat yang sedang terbang tinggi di angkasa.

Masalah ini penting untuk diperhatikan, mengingat tujuan utama dari perjalanan haji atau umrah tidak lain hanyalah untuk mendapatkan keridhaan dari Allah SWT. Maka logikanya, sangat tidak mungkin kalau selama perjalanan itu, jama’ah haji malah tidak melaksanakan shalat, karena tidak sah bersuci dari hadats.

Yang menjadi problem adalah masalah bagaimana cara bersuci dari hadats, apakah cukup dengan bertayammum, ataukah harus dengan berwudhu’?

Selama ini petunjuk dan pengarahan dari para penyelenggara perjalanan haji dan umrah, cenderung mengarahkan para jama’ah untuk bertayammum di atas pesawat, dengan menggunakan benda-benda yang ada di sekeliling para jama’ah. Misalnya bertayammum dengan kursi, sandaran, atau dinding pesawat.

Dan para jama’ah yang kebanyakan memang tergolong awam itu dengan mudahnya mengikuti arahan dan instruksi tersebut, seolah-olah memang begitulah satu-satunya oetunjuk yang dibenarkan dalam syariat Islam.

B. Kapan Dibolehkan Tayammum?

Bertayammum tidak sah apabila syarat untuk dibolehkannya tayammum belum terpenuhi. Sehingga masih harus melakukan wudhu’ dan belum boleh bertayammum.

  1. Enam Penyebab Tayammum

Setidaknya ada enam hal yang menjadi penyebab seseorang boleh bertayammum dan meninggalkan wudhu’. Keenam hal itu adalah:

  • Tidak ada air
  • Air ada tetapi kurang dan tidak cukup untuk berwudhu’
  • Air ada tetapi tidak terjangkau
  • Seseorang menderita suatu penyakit yang menghalanginya dari terkena air
  • Suhu udara sangat dingin sehingga berbahaya dan berisiko apabila tetap berwudhu’
  • Habisnya waktu

Dari keenam hal di atas, kondisi di dalam pesawat terbang yang paling mendekati adalah kondisi nomor dua, yaitu air ada jumlahnya kurang bila digunakan untuk berwudhu’. Karena  itulah kemudian alternatif yang diambil adalah mengganti wudhu’ dengan bertayammum.

  • Alasan Yang Kurang Tepat

Padahal kalau kita mau lebih sedikit periksa, alasan yang digunakan sebenarnya kurang tepat. Benar bahwa jumlah air di atas pesawat terbatas, namun sesungguhnya bukan berarti tidak cukup apabila digunakan untuk berwudhu’.

Masalahnya, wudhu’ yang bagaimana yang dimaksud? Dan berapakah jumlah air yang dibutuhkan untuk sekedar bisa berwudhu’? Kalau kita berpikir bahwa wudhu’ itu membutuhkan minimal dua qullah air, tentu pemahaman ini kurang tepat. Adanya air sejumlah dua qullah (kurang lebih 270 liter) bukan syarat sah wudhu’, melainkan dua qullah adalah ukuran maksimal air sedikit. Artinya, bila air sudah mencapai jumlah dua qullah, air itu tidak berubah menjadi musta’mal bila kejatuhan tetesan air musta’mal.

Kalau kita berpikir bahwa wudhu’ hanya dengan menggunakan keran air yang mengalir, lalu kita bisa bermain-main dengan air yang mengucur deras, maka sebenarnya ini hanya faktor kebiasaan dan bukan ketentuan atau syarat dalam berwudhu’.

Kalau kita berpikir bahwa wudhu’ itu hanya bisa dilakukan di dalam kamar mandi atau toilet, maka sebenarnya ini hanya faktor kebiasaan. Sebenarnya dalam syariat wudhu’, tidak ada ketentuan bahwa wudhu’ harus di kolam air, atau harus dengan keran air, atau juga harus di dalam kamar mandi khusus. Semua itu hanya faktor kebiasaan saja.

Sama kasusnya dengan shalat yang tidak mengharuskan seseorang memakai sarung dan peci. Namun mungkin karena sudah menjadi kebiasaan sejak dahulu kala, boleh jadi kalau shalat tanpa sarung dan peci, serasa ada yang kurang. Tetapi tetap saja sarung dan peci bukan syarat sah shalat. Dan tentu keliaru kalau ada orang yang sampai berpikir bahwa lebih baik tidak usah shalat daripada shalat tapi tidak pakai sarung dan peci. Sebab yang menjadi syarat dalam shalat adalah menutup aurat, bukan pakai sarung dan peci. Sarung dan peci adalah kebiasaan dab budaya suatu kelompok masyarakat tertentu, dan bukan ketentuan dalam syariat Islam.

Demikian pula dengan urusan wudhu’, semua yang disebutkan di atas sesungguhnya merupakan kebiasaan, namun seringkali seolah-oleh menjadi ketentuan baku, karena kurangnya pemahaman dalam ilmu syariah.

  • Volume Air Untuk Wudhu’

Lalu, menarik untuk diteliti, berapa sebenarnya jumlah air yang dibutuhkan untuk bisa melakukan wudhu dengan sah dan sempurna ?

Jawabannya tentu tidak bisa dilepaskan dari apa yang telah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Sebab kita tahu bagaimana tata cara berwudhu’, tentu karena kita merujuk kepada apa yang telah beliau SAW ajarkan. Maka untuk tahu berapa sebenarnya jumlah minimal air yang dibutuhkan untuk berwudhu’, jawabnya tentu kembali kepada bagaimana praktik wudhu’ Rasulullah SAW.

Di dalam dua kitab hadits disusun oleh dua maestro hadits, Bukhari dan Muslim, dan keshahihannya telah menjadi ijma’ para ulama sepanjang zaman, kita menemukan hadits yang membicarakan masalah ini.

“Dari Anas ra., dia berkata bahwa Rasulullah SAW berwudhu’ dengan satu mud air dan mandi dengan satu sha’ hingga lima mud air.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jelas sekali bahwa Rasulullah SAW hanya butuh air sebanyak satu mud untuk berwudhu’ dan empat mud untuk mandi janabah. Maka, bila kita punya satu air mud yang bisa digunakan untuk berwudhu’, kita tidak boleh mengganti wudhu’ dengan tayammum, karena air satu mud cukup untuk berwudhu’

Dalam hal ini, bila kita punya air satu mud untuk berwudhu’ lalu kita tidak mau berwudhu’ dengan 1001 macam alasan yang dibuat-buat, lantas wudhu’ diganti dengan tayammum, maka tayammum yang dilakukan tidak sah. Karena sesungguhnya masih ada air dalam jumlah yang cukup untuk digunakan berwudhu’.

  • Berapa Literkah Satu Mud Itu?

Maka yang menjadi pertanyaan, berapa literkah air sejumlah satu mud itu? Pertanyaan ini sangat penting, karena justru disitulah terletak jawaban, apakah seseorang masih harus melaksanakan wudhu’ ataukah dia sudah boleh bertayammum dengan alasan tidak cukup air.

Kalau kita melihat makna bahasa apa yang dimaksud dengan istilah mud, maka kita mengenal bahwa mud itu adalah dua genggaman tangan. Ketika dua telapak tangan kita, kita buka, lalu kita satukan antara yang kanan dengan yang kiri, lalu kita seolah-olah menadahkan air dengan menghadapkannya ke atas, maka seberapa banyak air yang bisa ditampung oleh kedua telapak tangan kita itu, itulah yang disebut dengan air sejumlah satu mud.

Tetapi sejumlah itu masih kira-kira. Para ulama lalu mencoba mengukur secara lebih akurat, agar bisa mendapatkan angka yang pasti. Setelah diukur dengan teliti, akhirnya didapatlah bahwa ternyata jumlah satu mud itu tidak sampai satu liter. Keterangan itu bisa dibaca dalam banyak kitab fiqih. Salah satunya adalah kitab fiqih modern semisal kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu susunan Dr. Wahbah Az-Zuhaili.1

Dalam kitab itu disebutkan bahwa bila diukur dengan ukuran zaman sekarang ini, satu mud itu setara dengan 0,688 liter atau 688 ml. Sebagai perbandingan untuk memudahkan, botol minuman air mineral ukurang sedang berisi 600 mililiter air.

Sebagai catatan, air 688 ml itu digunakan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yng berwudhu’nya sangat sempurna, dengan menjalankan semua sunnah-sunnah dalam berwudhu’

Seandainya kita dalam keadaan yang terpaksa, sebenarnya yang wajib dibasuh dengan air dalam berwudhu’ hanya sebatas empat anggota badan yang merupakan rukun wudhu’, yaitu wajah, kedua tangan hingga siku, menyapu sebagian kepala, dan membasuh kedua kaki hingga mata kaki.

Maka penggunaan air akan menjadi jauh lebih hemat lagi, boleh jadi kita bisa berwudhu’ hanya dengan air setengah gelas air minum kemasan.

Namun mungkin juga masih ada yang menolak cara berwudhu’ seperti ini dengan alasan bahwa berwudhu’ di dalam toilet itu akan memakan waktu yang sangat lama. Hal itu mengingat bahwa pesawat haji tidak kurang dari 450 penumpang. Pasti antrian untuk ke toilet akan menjadi sangat panjang dan tidak efisien. Akan ada banyak waktu yang terbuang percuma.

Jawabnya sederhana saja, yaitu para penumpang tidak perlu berwudhu’ di dalam toilet. Mereka cukup berwudhu’ di tempat duduk masing-masing.

Namun masih ada saja yang menolaj dengan alasan 450 jama’ah haji berwudhu’ pakai air di kursi masing-masing, apa tidak diperhitungkan kalau air itu tumpah dan membasahai lantai atau karpet pesawat.

Jawabnya tetap masih ada. Jama’ah haji tidak dibekali dengan botol minuman atau gelas, tetapi mereka dibekali dengan water sprayer alias penyemprot air. Bentuknya kurang lebih seperti pada gambar berikut ini, kecil dan mungil (ukuran 100-180 ml), sehingga bisa dimasukkan ke saku kemeja atau celana. Diisi dengan air dan bila habis bisa diisi ulang. Harganya pun murah sekali.

\"
water sprayer Tayammum

Kerja sprayer ini adalah menyemprotkan titik-titik air ke seluruh anggota yang menjadi rukun wudhu’ seperti wajah, tangan, kepala, dan kaki. Dengan alat penyemprot ini, tidak ada risiko air akan tumpah, dan wudhu’ bisa dilakukan oleh para jama’ah haji sambil duduk di kursi masing-masing.

C. Pendapat Yang Membolehkan Tayammum di Pesawat

Namun kalau kita masih mendapati kebanyakan jama’ah haji dan umrah melakukan tayammum di atas pesawat, tentu kita tidak bisa langsung mengatakan bahwa hal itu salah, keliru, atau tidak sah.

Tidak ada salahnya juga bila kita mendengar terlebih dahulu, apa alasan mereka membolehkan tayammun di atas pesawat, yang notabene tidak memenuhi ketentuan dan syarat-syarat tayammum.

Pendapat yang membolehkan tayammum di dalam kabin pesawat didasari dengan dalil Al-Qur’an dan juga dalil logika.

  1. Alasan Kemudahan

Yang paling sering dijadikan argumentasi untuk membolehkan jamaah haji dan umrah bertayammum di atas pesawat, meski syarat dan ketentuan baku tayammum belum terpenuhi adalah ayat-ayat dari Al-Qur’an tentang kemudahan dan keringanan yang dikehendaki Allah SWT.

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. An-Nisa ayat 43)

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah ayat 185)

Ayat ini menjadi “senjata” untuk membolehkan tayammum tanpa harus sesuai dengan ketentuan syariat. Prinsipnya, yang penting sudah berusaha, masalah sah atau tidak sah, itu urusan Allah.

  • Tidak Harus Tanah

Alasan yang kedua tentang bolehnya bertayammum di atas pesawat karena ada sebagian pendapat ulama yang menyebutkan bahwa tayammum tidak sebatas hanya dengan tanah saja, tetapi boleh juga dengan menggunakan benda apa saja yang berada atau di bumi, seperti debu, pasir, batu, kerikil, aspal, dan semen.

Di antara para ulama yang punya pendapat seperti ini adalah mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, dan juga pendapat dari pendapat Muhammad, murid Imam Abu Hanifah.

Mereka berargumen bahwa ayat Al-Qur’an yang menyebutkan tayammum itu tidak menyebut tanah yang dalam bahasa Arabnya disebut dengan turab, tetapi menggunakan kata sha’id. Karena dalam pendapat itu, semua itu termasuk ke dalam makna bumi tempat kita berpijak.

Dengan dasar itu, maka mereka membolehkan bertayammum dengan kursi dan dinding pesawat.

  • Tayammum Boleh Pakai Debu

Alasan ketiga yang mereka kemukakan adalah bahwa kalau pun tidak dibenarkan bertayammum dengan dinding pesawat atau kursi, karena bukan termasuk sha’id, namun sebenarnya yang dilakukan itu tidak lain adalah bertayammum dengan debu-debu yang menempel pada benda itu.

Dalam pandangan mereka, semua benda pasti ada debu-debu yang menempel, meski tidak terlihat dengan mata telanjang.

Dan debu yang menempel pada kursi dan dinding pesawat dianggap sah untuk digunakan bertayammum.

D. Kelemahan

Pendapat di atas berikut argumentasi yang disodorkan memang sekilas tampak cukup meyakinkan banyak orang, sehingga pihak Kementerian Agama Republik Indonesia, dalam hal ini Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, ketika memberikan pengarahan kepada para jamaah haji nampaknya menggunakan pendapat ini.

Sehingga 200 ribu jamaah haji Indonesia, hampir seluruhnya bertayammum di atas pesawat dengan cara menempelkan telapak tangan mereka di kursi dan dinding pesawat.

Namun, kalau kita kritisi lebih jauh, sebenarnya pendapat ini juga punya sisi-sisi kelemahan dalam argumentasinya. Maka tidak ada salahnya kalau di dalam tulisan ini juga disertakan penjelasan dimana saja letak kelemahannya. Tentu tujuannya bukan untuk membuat jamaah haji tambah bingung, melainkan untuk menjadi bahan kajian yang menambah wawasan ilmu syariah kita.

a. Kelemahan Pertama

Agama Islam ini memang punya prinsip kemudahan dalam banyak sisi. Semua orang pasti setuju hal ini. Namun yang namanya kemudahan itu sifatnya datang dari Allah SWT. Dan bentuk kemudahan itu pun juga harus sesuai tata caranya dengan petunjuk dari Allah juga.

Misalnya, dalam hal kemudahan untuk menjama’ dua shalat wajib. Kemudahan itu memang ada, tetapi yang boleh dijama’ hanya dua waktu shalat, dan tidak boleh lima waktu shalat dijama’ jadi satu. Tidak mentang-mentang ada keringanan untuk menjama’ shalat, lantas kita boleh berimprovisasi sendiri seenak selera kita.

Demikian juga dengan tayammum. Memang tayammum itu menjadi pengganti sementara bila tidak ada air dari keharusan berwudhu’ atau mandi janabah. Tetapi, ketika masih ada air dalam jumlah yang cukup, tentu tayammum masih boleh dilakukan.

Di atas pesawat, sebenarnya cukup banyak tersedia air yang bisa digunakan untuk berwudhu’. Sebab yang dibutuhkan untuk wudhu’ tidak lebih dari 660 ml air saja per orang. Dan jumlah itu tidak sampai satu liter.

Air itu tersedia di toilet, juga air minum yang dibagikan pramugari saat makan, bisa kita minta untuk berwudhu’.

Bahkan para jamaah juga dibenarkan membawa sendiri air di dalam botol sprayer transparan, dengan catatan ukurannya tidak melebihi 100 ml. sebab di masa sekarang ini sudah diberlakukan larangan untuk membawa cairan di atas 100 ml ke dalam kabin pesawat.

b. Kelemahan Kedua

Pendapat yang mengatakan bahwa kita boleh bertayammum dengan menggunakan dinding dan kursi pesawat, juga punya kelemahan.

Memang benar bahwa Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah tidak bukan hanya tanah saja yang boleh digunakan untuk tayammum, seperti debu, pasir, batu, kerikil, dan lainnya. Tetapi kalau kursi dan dinding pesawat, tentu tidak termasuk dalam benda-benda yang boleh digunakan untuk bertayammum. Sebab benda-benda itu tidak identik dengan bumi atau benda yang berada di atas bumi, sebagaimana perluasan makna dari kata sha’id.

Bukankah dinding dan kursi pesawat adalah benda yang diproduksi manusia dan bukan bagian dari alam atau permukaan bumi? Dan bukankah saat dinding dan kursi pesawat sedang pada ketinggian di atas 27 ribu kaki dari permukaan laut ?

c. Kelemahan Ketiga

Pendapat yang mengatakan bahwa kita boleh bertayammum menggunakan kursi dan dinding pesawat berhujjah bahwa mereka tidak semata-mata menggunakan kursi atau dinding, tetapi menggunakan debu-debu yang menempel pada keduanya.

Pendapat ini juga punya kelemahan bahkan lebih fatal dari sebelumnya. Mengapa ?

Karena kursi dan dinding pesawat tentu sangat dijaga kebersihannya, tidak mungkin berdebu.

Sebab kalau sampai kursi dan dinding pesawat itu berdebu, tentu para penumpang akan terus bersin-bersin sepanjang perjalanan. Ruang dalam kabin pesawat tentu setiap saat dibersihkan dengan cara disedot (di-vacuum) oleh petugas sebersih-bersihnya.

Dan kalau debu yang berukuran mikroskopik dianggap sah digunakan untuk bertayammum, mengapa kita tidak bertayammum menggunakan udara saja? Bukankah di udara yang kita hirup ini juga banyak beterbangan debu-debu mikroskopik yang tidak bisa dengan mudah dilihat dengan mata telanjang? Jadi kita cukup menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusap wajah dan menggerak-gerakkan tangan untuk mengusap tangan dengan debu mikroskopik. Tapi tidak ada seorang pun yang pernah berfatwa demikian, karena debu mikroskopik tidak sah dijadikan benda yang digunakan buat bertayammum.

Kalaupun ada benda yang berdebu di dalam kabin pesawat, maka yang paling logis justruk karpet yang menjadi lantai pesawat, dimana semua penumpang yang naik pesawat itu pasti menginjaknya. Dan sangat besar kemungkinan menjadi benda yang paling banyak debunya. Sayangnya, arahan dan petunjuk dari petugas haji justru malah tidak mengajarkan bertayammum dengan karpet pesawat. Entah apa alasannya, kemungkinan besar karena karpet itu dianggap kotor karena dinjak0injak. Padahal yang namanya tayammum dengan tanah, prinsipnya memang menggunakan benda yang diinjak oleh manusia.

E. Mengatasi Kesulitan Wudhu di Pesawat

Namun pihak yang bersikeras untuk bertayammum di atas pesawat juga memberikan hujjah yang melemahkan pendapat yang memilih wudhu daripada tayammum. Diantaranya yang mereka kemukakan sebagai kelemahan adalah:

1 Antrian Panjang

Kalau 450 jama’ah haji harus berwudhu’ semua, tentu tidak masuk akal, karena jumlah toilet yang ada di pesawat sangat terbatas.

Pasti akan terjadi antrian yang amat panjang, karena tiap orang akan menghabiskan waktu yang cukup lama untuk wudhu bergantian di depan toilet. Pasti antrian itu akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk sekedar bisa membuat ke-450-an jama’ah itu bisa berwudhu’ semua.

Maka ide untuk mengharuskan wudhu’ bagi semua penumpang dianggap tidak masuk akal, karena terlalu memberatkan jama’ah.

Jawaban

Masalah ini dijawab bahwa untuk berwudhu’, jamaah yang jumlahnya mencapai 400-500 orang tidak harus semuanya masuk ke dalam toilet. Memang tidak efisien dan tidak efektif jika begitu teknisnya.

Yang perly dilakukan cukup para jama’ah itu berwudhu di kursi masing-masing saja, tidak harus berjalan kesana-kemari atau bikin antrian panjang di depan toilet.

2. Risiko Air Tumpah

Jawaban dari pendukung “mazhab tayammum” atas adalah: kalau jama’ah haji dan umrah diminta berwudhu’ di kursi masing-masing, maka risikonya lebih parah lagi. Bagaimana kalau air itu tumpah dan membasahi pakaian mereka, apa tidak masuk angin kalau sepanjang perjalanan di angkasa mereka memakai baju yang basah?

Dan kalau air wudhu itu tumpah membasahi lantai pesawat, malah lebih berbahaya lagi. Boleh jadi akan menyebabkan kerusakan dalam pesawat akibat arus pendek.

Jawaban

Masalah risiko takut air wudhu’ itu tumpah, bisa dijawab dengan mudah saja tanpa perlu khawatir.

Jama’ah haji tidak dibekali dengan botol minuman atau gelas untuk berwudhu’, tetapi mereka dibekali dengan water sprayer alias penyemprot air. Bentuknya kurang lebih seperti pada gambar yang telah ditampilkan di atas. Kecil dan mungil, sehingga bisa dimasukkan ke saku kemeja atau celana. Diisi dengan air dan bila habis, bisa diisi ulang. Harganya pun murah sekali.

Kerja sprayer ini adalah dengan menyemprotkan titik-titik air ke seluruh anggota tubuh yang menjadi rukun wudhu’ seperti wajah, tangan, kepala, dan kaki. Dengan alat penyemprot ini, tidak ada risiko air akan tumpah, dan wudhu bisa dilakukan oleh para jama’ah sambil duduk di kursi masing-masing.

Artikel ini disadur dari Buku Seri Fiqih Kehidupan Jilid 6 : Haji & Umrah, halaman 287-296. Disusun oleh Ustadz Ahmad Sarwat, Lc., MA

__________________________________________________________________________

1 Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, jilid 1 hal.143

By : Kabilah Tour Mudah, Aman & Berkah

Share this :

error: Content Properti Kabilah Tour is protected !!